‘Bidan’ yang Rela Mati Demi
Keyakinannya.
Peter Drucker, sang penggagas
manajemen modern, bertanya kepada Jack Welch, CEO General Electric Co (GE) di
kantor pusatnya di New York tahun 1981. Drucker melontarkan dua pertanyaan :
“Seandainya Anda belum terjun ke bisnis, apakah Anda akan terjun ke bisnis?”
ujarnya. “Jika tidak, apa yang Anda akan lakukan?” imbuhnya. Pertanyaan itu
membuat Welch membawa GE kembali menjadi salah satu korporasi Amerika tersukses
dalam 25 tahun terakhir. Ya, Drucker hanyalah bertanya dan tak pernah
memberikan jawaban yang jelas dan langsung atas pertanyaan banyak CEO.
“Pekerjaan saya adalah bertanya, dan tugas Andalah untuk mencari jawabannya”,
tutur pria yang wafat pada 11 November 2005 lalu.
Dricker berperan sebagai “bidan”
yang sekedar membantu para pemimpin perusahaan untuk melahirkan ide-ide.
Sebenarnya, dia sedang meneladani Socrates. Metode “kebidanan” adalah ciri khas
Socrates yang memang anak seorang bidan. Dengan metode kebidanan inilah.
Socrates ditangkap karena dituduh “mengajarkan” ajaran baru yang melawan ajaran
banyak dewa dan menyesatkan banyak anak muda. Dan, saat di adili, Socrates
tetap teguh mempertahankan diri, dan mengakibatkan dirinya dijatuhi hukuman
mati dengan cara menenggak racun, karena kalah dalam pemungutan suara – 281
lawan 220 suara.
Dialog-dialog ini diabadikan oleh
Plato, muridnya, lewat ‘Apologia’. Dan sejarah mencatat, Socrates adalah korban
pertama dari demokrasi.
“Banyak alasan mengapa aku tak
bersedih hati saat diputuskan hukuman bagiku, wahai tuan-tuan. Hal itu memang
telah kuduga semula, hanya saja terperanjat menyaksikan perbandingan suara yang
hampir seimbang itu”, tutur Socrates. Tenang. Dia menyatakan bahwa kenikmatan
di akherat sungguh besar. “Sebab, selain mereka itu lebih bahagia daripada kita
disini, disana itu mereka hidup abadi”, jelasnya. Keyakinan yang teguh
membuatnya tidak takut mati. Bahkan saran para sahabatnya untuk melarikan diri
tak digubrisnya.
Dengan metode kebidanan yang
membuatnya berjalan-jalan dan bertanya-tanya kepada banyak orang, Socrates
dinyatakan bersalah oleh lawan-lawannya. Padahal dirinya hanya ingin menemukan
jawaban dari Orakel Delphi, yang ditanyakan kawan lamanya Chaerefon, yang
menyatakan bahwa tidak ada yang lebih bijaksana dari dirinya. Karena ia tak
merasa bijaksana, dia menanyakan kepada banyak orang, mulai dari politisi,
pujangga, hingga intelektual, dan itu membuat musuhnya bertambah. Socrates
ibarat lalat yang mengganggu dan mencemooh mereka. Mereka tak hanyatak mampu
memaparkan dalam hal apa mereka “bijaksana”. Bagi mereka, Socrates didepan umum
berupaya “membuktikan” bahwa sesungguhnya mereka tidak bijaksana.
Di jalan-jalan, Socrates bertanya
khusus tentang definisi sebuah ‘Arete’ (keutamaan/nilai, Virtue). Misalnya
“apakah itu bijaksana?”, “Apakah itu keadilan?”, “Apakah itu kedermawanan?”,
atau “Apa itu kejujuran?”. Dari satu pertanyaan, akan berbuah ke pertanyaan
lainnya. Setelah panjang berdebat, Socrates mengunci tanya-jawab tadi dengan
berkata : “Demikianlah adanya, kita kedua-duanya sama-sama tidak tahu.” Metode
dialektika ini juga dipakai untuk melawan kaum sofis, yang mengajarkan
ajarannya dengan cara retorika kosong untuk uang semata, dan bukan karena
semangat menyebarkan kebenaran.
Sayang pria tambun kelahiran
Athena yang hidup tahun 470 S.M-399 S.M ini tidak pernah menuliskan ajarannya.
Berkat Plato, yang baru berusia 28 tahun saat Socrates gugur, dan beberapa
muridnya, ajarannya menjadi abadi. Baginya, tujuan hidup adalah mencapai
‘eudaimoia’ yang sering diterjemahkan dengan ‘well=being’ (kebahagiaan) yang
bersifat obyektif dibandingkan ‘happiness’ yang lebih subyektif. Eudaimoia juga
berarti “suara hati dari Tuhan”, atau juga “jiwa (daimon) yang baik.” Hal ini
dilanjutkan oleh Aristoteles, cucu muridnya, lewat etika eudaimonisme nya.
Untuk mencapai kebahagiaan itu,
jalannya adalah memaksimalkan ‘Arete’. Arete adalah nilai-nilai, misalnya
kejujuran, keadilan, atau keberanian. Arete juga berarti keutamaan seorang
berdasakan kodrat untuk apa ia dicipta.
Seorang negarawan mempunyai
‘Arete’ yang memungkinkannya menjadi politikus yang baik. Seorang tukang sepatu
yang mempunyai ‘Arete” akan menyebabkan ia menjadi tukang yang baik. Dengan
‘Arete’, ia mendapat pengetahuan yang memungkinkannya menjadi seorang tukang
atau politikus yang baik. Dan untuk memaksimalkan ‘Arete’, maka pendidikan
sangat diperlukan.
Kalau kita tidak bisa
memaksimalkan ‘Arete’, sama saja dengan pena yang tak berfungsi, pena yang tak
lagi bisa dipakai menulis. Dalam bahasa manajemen modern, ‘Arete’ bisa berarti
“profesional”. Dalam skala Motivasi Ian Mashall, dibuku ‘Spiritual Capital’,
‘Arete’ masuk dalam kategori +4, penguasaan yang membuat orang mencapai level
puncak dalam karirnya.
Socrates juga orang pertama yang
berjasa mengembalikan filsafat dari hanya membincangkan alam semesta kepada
perbincangan seputar manusia. Slogannya yang terkenal adalah : “Kenali
dirimu!”. Dari hasil ‘kebidanannya’ dia berkesimpulan : “Aku tahu bahwa aku
tidak tahu!”.
Socrates dianggap banyak kalangan
sebagai penyebar semangat monotheisme, walau ada yang bilang dia atheis atau
politheis. Ajarannya diteruskan juga oleh Aristoteles, yang terkenal lewat “The
Unmoved Mover” yang disebutnya sebagai Penggerak Pertama, yang banyak diyakini
orang sebagai ajaran Tauhid.
Dari tangan Socrates, lahirlah
Plato dan Airstoteles, dua pemikir raksasa yang pengaruhnya begitu besar dalam
peradaban manapun, termasuk peradaban Islam abad pertengahan lewat
paripatetisme dari Aristoteles dan Neo-Platonisme.
Dan dua cabang besar itu berawal
dari sosok gendut beristri wanita cerewet yan acap memarahinya, yang sayangnya,
tidak pernah menuliskan ajaran-ajarannya.
Masih bisa kita baca harapannya
pada generasi penerusnya : “Saya curahkan seluruh waktu saya dengan melakkan
upaya membujuk kalian, pemuda dan orangtua, agar kepedulian pertama dan utama
kalian bukan demi raga kalian ataupun harta kalian, melainkan demi
kesejahteraan tertinggi jiwa kalian. Kekayaan tidak membawa kebaikan, tetapi
kebaikan membawa kekayaan dan segala berkah lainnya, baik bagi individu maupun
bagi negara.”
Hari itu, setelah keputusan mati
ditetapkan, Socrates justru menghibur teman-temannya yang bersedih. “Kini tiba
saat kita berpisah. Aku menjelang mati, dan kalian menempuh hidup. Mana yang
lebih baik, hanya Tuhanlah yang tahu”.
********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar