Dua tahun setelah pertemuannya
dengan al-Afghani, Abduh menulis kitab “Risalah al-Aridha” (1873), disusul
kemudian “Hasyirah Syarh al-Jalal ad-Dawwani li al-Aqa’id adh-Adhudhiyah”
(1875).
Di usia 26 tahun, Abduh telah
menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam, dan
tasawuf, serta mengeritik pendapat-pendapat yang diangapnya salah.
Disamping itu, ia juga menulis artikel-artikel pembaharuan di surat kabar al-Ahram, Kairo, dan tulisan-tulisannya tidak disukai oleh para pengajar di Al-Azhar. Namun, berkat kemampuan ilmiahnya dan juga pembelanya, yaitu Syaikh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi yang waktu itu menjabat Syaikh Al-Azhar, Abduh dinyatakan lulus dengan meraih gelar “Alim” dalam usia 28 tahun (1877).
Hanya dua tahun setelah lulus, ia di asingkan dari Kairo ke desa kelahirannya, karena dianggap aktif terlibat dalam gerakan politik anti pemerintah. Di saat yang sama, Al-Afghani juga di usir dari Mesir dan diasingkan ke Paris.
Setahun kemudian, Abduh di izinkan kembali ke Kairo. Ia diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir “al-Waqa’ial-Misriyyat”. Berselang dua tahun, Abduh turut berperan dalam gerakan revolusi nasionalis Urai Pasya yang membuatnya dipenjarakan dan dibuang ke Beirut.
Ia kemudian pergi ke Paris, dan bertemu dengan gurunya, Al-Afghani. Keduanya menerbitkan jurnal pergerakan politik dan keagamaan “al-Urwat al-Wusqa”, pada 1884. Empat tahun kemudian, berkat bantuan teman-temannya, Abduh di izinkan kembali ke Mesir. Namun ia tidak diperbolehkan mengajar, karena pemerintah khawatir terhadap pengaruh politiknya.
Larangan mengajar membuat Abduh bekerja sebagai hakim disalah satu pengadilan. Tapi akhirnya, ia diminta untuk kembali ke Al-Azhar pada 1894. Ia diangkat sebagai anggota Majelis Tinggi Al-Azhar. Kesempatan itu ia pergunakan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam lembaga pendidikan tersebut. Lima tahun kemudian, ia diangkat menjadi Mufti Mesir yang dijabatnya hingga ia wafat pada 1905.
Abduh adalah pembaharu agama dan sosial pada zaman modern. Ia penganjur yang sukses dalam membuka pintu ijtihad, untuk menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern, walaupun ia diserang oleh orang-orang yang menganggap bahwa pembaharuan dan pendapat-pendapatnya membahayakan kaum muslim.
Bidang pendidikan menjadi perhatian serius Abduh dalam mengembangkan gagasan pembaharuannya. Bagi Abduh, pendidikan merupakan lembaga paling strategis untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial secara sistematik. Di antara gagasan Abduh yang paling mendasar dalam sistem pendidikan adalah penentangannya terhadap dualisme pendidikan. Menurut dia, dalam sekolah-sekolah umum harus diajarkan agama, sedangkan dalam sekolah-sekolah agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern.
Abduh sangat membenci sikap taqlid (mengikuti pendapat ulama tanpa mengetahui dalil dan sebab musababnya) yang menghinggapi umat Islam saat itu, karena hal itu akan menutup pintu ijtihad. Itu sebenarnya mulai ia rasakan sejak di AL-Azhar ketika ia mendapati terpolanya dua pemahaman kaum mayoritas yang penuh taqlid dan hanya mengajarkan kepada siswa-siswanya pendapat-pendapat ulama terdahulu dan untuk sekedar dihapal; dan kaum minoritas adalah mereka yang suka akan pembaharuan Islam (pola tajdid) yang mengarah pada penalaran dan pengembangan rasa.
Sikap taqlid, bagi Abduh, hanya akan menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya Salafal Ummah, yaitu sebelum terjadinya perpecahan. Ia pun menganjurkan untuk memahami langsung dari sumber pokoknya : Al-Qur’an.
Abduhmenyatakan bahwa para pemikir Islam terdahulu telah berjasa dalam usaha mereka, tetapi itu tidak berarti bahwa kita harus selalu mendahulukan pendapat mereka ketimbang petunjuk-petunjuk yang kita pahami dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Di bidang politik, ia sangat menentang sistem pemerintahan otoriter. Menuru dia, kondisi pemerintah otoriter pada bangsa-nagsa muslim sebagai akibat kebodohan faqih dan penguasa. Faqih bersalah karena tidak memahami politik dan bergantung pada penguasa, sehingga penguasa tidak mempertanggungjawabkan kebijakannya. Sementara penguasa, bukan saja tak tahu bagaimana memerintah dan menegakkan keadilan, tapi mereka juga merusak faqih dan memanfaatkannya untuk kepentingan penguasa.
Salah satu sumbangsih Abduh adalah sebuah tafsir terkenal dalam “Juz-Amma”. Tafsir yang disusun Abduh atas musyawarah dari anggota Jam’iyyah Khairiyyah al-Islamiyyah itu, memberikan pehamanan tentang arti dan kandungan makna dari surat-surat yang terdapat dalam Juz 30. Ia juga berharap karyanya itu bisa menjadi corong perbaikan kerja dan akhlaq.
****
Disamping itu, ia juga menulis artikel-artikel pembaharuan di surat kabar al-Ahram, Kairo, dan tulisan-tulisannya tidak disukai oleh para pengajar di Al-Azhar. Namun, berkat kemampuan ilmiahnya dan juga pembelanya, yaitu Syaikh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi yang waktu itu menjabat Syaikh Al-Azhar, Abduh dinyatakan lulus dengan meraih gelar “Alim” dalam usia 28 tahun (1877).
Hanya dua tahun setelah lulus, ia di asingkan dari Kairo ke desa kelahirannya, karena dianggap aktif terlibat dalam gerakan politik anti pemerintah. Di saat yang sama, Al-Afghani juga di usir dari Mesir dan diasingkan ke Paris.
Setahun kemudian, Abduh di izinkan kembali ke Kairo. Ia diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir “al-Waqa’ial-Misriyyat”. Berselang dua tahun, Abduh turut berperan dalam gerakan revolusi nasionalis Urai Pasya yang membuatnya dipenjarakan dan dibuang ke Beirut.
Ia kemudian pergi ke Paris, dan bertemu dengan gurunya, Al-Afghani. Keduanya menerbitkan jurnal pergerakan politik dan keagamaan “al-Urwat al-Wusqa”, pada 1884. Empat tahun kemudian, berkat bantuan teman-temannya, Abduh di izinkan kembali ke Mesir. Namun ia tidak diperbolehkan mengajar, karena pemerintah khawatir terhadap pengaruh politiknya.
Larangan mengajar membuat Abduh bekerja sebagai hakim disalah satu pengadilan. Tapi akhirnya, ia diminta untuk kembali ke Al-Azhar pada 1894. Ia diangkat sebagai anggota Majelis Tinggi Al-Azhar. Kesempatan itu ia pergunakan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam lembaga pendidikan tersebut. Lima tahun kemudian, ia diangkat menjadi Mufti Mesir yang dijabatnya hingga ia wafat pada 1905.
Abduh adalah pembaharu agama dan sosial pada zaman modern. Ia penganjur yang sukses dalam membuka pintu ijtihad, untuk menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern, walaupun ia diserang oleh orang-orang yang menganggap bahwa pembaharuan dan pendapat-pendapatnya membahayakan kaum muslim.
Bidang pendidikan menjadi perhatian serius Abduh dalam mengembangkan gagasan pembaharuannya. Bagi Abduh, pendidikan merupakan lembaga paling strategis untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial secara sistematik. Di antara gagasan Abduh yang paling mendasar dalam sistem pendidikan adalah penentangannya terhadap dualisme pendidikan. Menurut dia, dalam sekolah-sekolah umum harus diajarkan agama, sedangkan dalam sekolah-sekolah agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern.
Abduh sangat membenci sikap taqlid (mengikuti pendapat ulama tanpa mengetahui dalil dan sebab musababnya) yang menghinggapi umat Islam saat itu, karena hal itu akan menutup pintu ijtihad. Itu sebenarnya mulai ia rasakan sejak di AL-Azhar ketika ia mendapati terpolanya dua pemahaman kaum mayoritas yang penuh taqlid dan hanya mengajarkan kepada siswa-siswanya pendapat-pendapat ulama terdahulu dan untuk sekedar dihapal; dan kaum minoritas adalah mereka yang suka akan pembaharuan Islam (pola tajdid) yang mengarah pada penalaran dan pengembangan rasa.
Sikap taqlid, bagi Abduh, hanya akan menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya Salafal Ummah, yaitu sebelum terjadinya perpecahan. Ia pun menganjurkan untuk memahami langsung dari sumber pokoknya : Al-Qur’an.
Abduhmenyatakan bahwa para pemikir Islam terdahulu telah berjasa dalam usaha mereka, tetapi itu tidak berarti bahwa kita harus selalu mendahulukan pendapat mereka ketimbang petunjuk-petunjuk yang kita pahami dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Di bidang politik, ia sangat menentang sistem pemerintahan otoriter. Menuru dia, kondisi pemerintah otoriter pada bangsa-nagsa muslim sebagai akibat kebodohan faqih dan penguasa. Faqih bersalah karena tidak memahami politik dan bergantung pada penguasa, sehingga penguasa tidak mempertanggungjawabkan kebijakannya. Sementara penguasa, bukan saja tak tahu bagaimana memerintah dan menegakkan keadilan, tapi mereka juga merusak faqih dan memanfaatkannya untuk kepentingan penguasa.
Salah satu sumbangsih Abduh adalah sebuah tafsir terkenal dalam “Juz-Amma”. Tafsir yang disusun Abduh atas musyawarah dari anggota Jam’iyyah Khairiyyah al-Islamiyyah itu, memberikan pehamanan tentang arti dan kandungan makna dari surat-surat yang terdapat dalam Juz 30. Ia juga berharap karyanya itu bisa menjadi corong perbaikan kerja dan akhlaq.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar