Menteri Penerangan Pertama
Pak Natsir, demikian sapaan akrab
putra kelahiran 17 Juli 1908 di Alahan Panjang Solok Sumetara Barat itu. Ia
terlahir dari pasangan Idris Sutan Saripo dan Khadijah, dengan nama lengkap
Mohammad Natsir.
Ia adalah salah satu di antara
paa pejuang Angkatan’45. Ia lebih banyak bergerak dan menuangkan perhatiannya
pada dunia pendidikan. Kalau pun ia semat terjun ke dunia politik, itu hanyalah
salah satu cara untuk memperjuangkan dunia pendidikan itu sendiri.
Natsir tidak ingin melihat
bangsanya terpuruk dalam kebodohan. Maka sejak muda, ia sudah menunjukkan
semangatnya yang sungguh-sungguh dalam belajar. Berbagai bahasa pun ia kuasai,
seperti bahasa Arab, Belanda, Jerman, Inggris, Latin dan Perancis. Bahkan
ketika belajar di AMS Bandung, ia pernah mendapat nilai terbaik dalam bahasa
Latin. Dengan kemampuan berbahasanya itulah Natsir bisa dengan mudah mengakses
berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Di usia 8 tahun, ia masuk HIS
(Hollandse Inlandse School) di kota Padang, tapi hanya beberapa bulan saja.
Oleh ayahnya, ia di pindahkan ke HIS Pemerintah di kota Solok yang terkenal
dengan sistem pendidikan murni bermuatan Barat. Setelah lulus dari HIS pada
tahun 1923, Natsir melanjutkan ke MULO (Midlebare Uitgebreid Larger Onderwys)
di kota Padang. Selesai MULO, tahun 1927, Natsir melanjutkan lagi pendidikan
formalnya di AMS (Algemene Midlebare School) di kota Bandung.
Di AMS Bandung itulah ia punya kesempatan berkenalan dengan
tokoh Persis, Ahmad Hassan, dan juga tokoh lainnya seperti Haji Agus Salim dan
Ahmad Soorkati. Dan Natsir pun di ajak ber- gabung mengelola majalah Pembela
Islam, majalah Persis yang diterbitkan tahun 1929. Natsir menjadi anggota dewan
redaksi. Tapi majalah itu tidak berumur panjang, pada tahun 1935, di bredel
oleh Pemerintah Kolonial karena dinilai menyerang misi Kristen di Indonesia.
Dengan kemauan dan semangat belajar yang tinggi, kesempatan
yang ada dimanfaatkan Natsir untuk belajar dengan tokoh-tokoh yang pernah
dikenalnya itu.
Pada Ahmad Hassan ia belajar menulis dan argumentasi. Pada
Agus Salim, ia belajar politik, meski Natsir sendiri adalah seorang pendidik.
Itu sebabnya, dalam karya-karyanya, ia banyak menulis tentang dunia pendidikan.
Natsir adalah sosok muslim yang lengkap ilmunya. Baik pengetahuan umum, maupun
pengetahuan agama, yang diserapnya baik dari Timur mapun Barat.
MENDIDIK DENGAN KETELADANAN
Dalam suatu kesempatan. Natsir
pernah berkisah, bahwa di zaman kolonial kita menghadapi berbagai tantangan,
seperti kebodohan, kemiskinan, dan ketimpangan. Kesempatan memperoleh
pendidikan sangat ditentukan oleh besar kecilnya pendapatan orangtua. Anak
pegawai yang gajinya kurang dari 70 gulden, tidak boleh bersekolah di sekolah
Belanda seperti HIS.
Dizaman kolonial pula, kita
berupaya untuk melakukan pembaharuan dalam sistem pendidikan, dengan jalan
menyatukan pelajaran agama dengan pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah
Belanda. Selain itu, kita pun berusaha untuk mengajarkan kepada para pemuda
tentang keterampilan, agar tumbuh sikap “Mandiri”. Dengan demikian, para pemuda
akan terbiasa belajar membangun inisiatif, menumbuhkan daya cipta yang kreatif
dan terbebas dari sifat ketergantungan.
Dalam menyoroti masalah
pendidikan moral, Natsir apda kesempatan wawancara dengan Jurnal Inovasi Maret
1987, ada mengutip syair sebagai berikut : “Yang disebut ummat itu adalah
akhlaq, dan bila akhlaq itu hilang, maka hilang pula ummat”. Natsir memberikan
contoh ; kemajuan industri dan informasi itu jangan dikaitkan dengan
meningkatkan perjudian, melapangkan jalan perzinaan dan membiarkan korupsi
dengan segala bentuknya menjadi kebudayaan baru. Atau membiarkan merajalelanya
kesenjangan sosial di bidang ekonomi dengan berdasarkan pendapat bahwa yang
semacam itu sudah merupakan kemauan zaman sekarang.
Dan ketika ditanya, kenapa
tokoh-tokoh se-angkatannya yang banyak berbasis dunia pendidikan/guru, tetapi
secara aktif menekuni bidang politik di kala itu? Menurut Natsir ; di zaman
kolonial, jika seseorang itu sudah terjun ke masyarakat dan melihat lapangan yang
ada, karena tidak tahan melihat keadaan, ia mencoba untuk mengubah keadaan itu.
Tidak boleh tidak, ia terjun ke bidang politik, siapapun orangnya, apakah ia
guru, dokter, insinyur, ulama, atau apa saja, demi menegakkan yang baik, dan
mencegah yang merusak, di bidang apapun. Seorang muslim tidak boleh berdiam
diri dan berpangku tangan.
Dalam pandangannya sebagai
seorang pendidik, ia mengatakan, untuk mendidik bangsa ini, tidak ada jalan
lain keciali dengan cara mendidik dan memberikan teladan, Maka, apda masa
penjajahan Jepang. Natsir menggagas berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI), dan
Bung Hatta sangat antusias mendukung gagasan tersebut, namun sayang, STI tidak
bertahan lama. Kemudian Jepang menyerah, dan 17 Agustus 1945 Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya.
Ketika Sutan Syahrir duduk
sebagai perdana menteri, Natsir terpilih menjadi menteri penerangan yang
pertama di negeri ini. Ia menduduki jabatan tersebut sampai tiga kali. Dua kali
pada masa Kabinet Syahrir, satu kali pada masa Kabinet Hatta. Di samping itu,
Natsir juga pernah menduduki jabatan di berbagai organisasi Islam Dunia,
seperti World Muslim Congress. Rabitah Alam Islamy (1969), dan Anggota Dewan
Masjid Sedunia.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar